Oleh Jason Strother | Christian Science Monitor
Para siswa Korea
Selatan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi yang sangat penting pekan
ini. Di saat yang sama, keluarga di Korea Selatan terbelit utang akibat
besarnya pengeluaran untuk pendidikan swasta.
Ketika Cheon
Sun-kyoung dan suaminya mengambil pinjaman sebesar $100 ribu (setara
Rp960 juta) dan pindah dari pinggir kota ke salah satu daerah permukiman
paling bergengsi di kota Seoul, ia berharap kepindahannya itu akan jadi
awal tangga sosial yang sangat kompetitif di Korea Selatan.
Dia
ingin mendaftarkan putrinya yang sudah remaja ke salah satu bimbingan
tes yang mahal, agar putrinya mendapat nilai yang tinggi untuk bisa
masuk ke universitas bergengsi, dan pada akhirnya, mendapatkan pekerjaan
bergaji tinggi.
Tetapi untuk sekarang, Nyonya Cheon mengatakan bahwa keluarganya harus membuang jauh-jauh impian itu.
"Hidup
di sini benar-benar mahal, saya bahkan harus membeli bahan makanan di
tempat lain, di daerah permukiman yang lebih murah," kata Cheon, seorang
guru paruh waktu. "Tidak mungkin kami menghemat uang sekarang ini,
karena kami harus melunasi pinjaman yang kami gunakan untuk membeli
apartemen ini."
Semakin banyak keluarga Korea Selatan seperti Cheons semakin terlilit utang.
Pada
Agustus, Bank of Korea merilis data bahwa rumah tangga di sana memiliki
rasio utang dan pendapatan sekitar 160 persen tahun ini, naik dari
sekitar 123 persen pada 2010. Pinjaman tersebut didapat dari sebagian
besar pemberi pinjaman sekunder yang memberikan tingkat bunga tinggi
berjumlah hampir $600 miliar (setara Rp6 kuadriliun) Pada akhir Juli,
utang rumah tangga mencapai $573,25 miliar (setara Rp5,5 kuadriliun).
Menurut
LG Economic Research Institute, 28 persen keluarga di Korea Selatan
tidak bisa mencicil utang setiap bulan, dan tidak dapat menutupi biaya
bulanan dengan pendapatan mereka saat ini.
Bagi beberapa
pengamat, angka tersebut menunjukkan bahaya. Menjelang krisis keuangan
di AS pada 2008, Amerika Serikat memiliki rasio utang dan pendapatan
sekitar 130 persen.
Menurut Chosun Ilbo, para orangtua di Korea
Selatan menghabiskan rata-rata $1.000 per anak untuk pendidikan setiap
bulan. Pada 2009, Korea Selatan mengucurkan total $19 miliar untuk les
privat dan bimbingan tes. Lebih dari setengah jumlah tersebut dihabiskan
untuk pendidikan negeri.
Beberapa laporan mengatakan, tingginya
biaya pendidikan adalah alasan utama warga Korea memutuskan untuk punya
anak lebih sedikit. Pada 2011, Korea Selatan menghabiskan sekitar $17,7
miliar untuk pendidikan swasta, turun dua tahun berturut-turut karena
angka kelahiran di Korea Selatan juga menurun.
Jeong Young-sik
adalah seorang analis di Samsung Economic Research Institute di Seoul.
Dia memperkirakan 70 persen pengeluaran rumah tangga dialokasikan untuk
pendidikan swasta. Jeong mengatakan bahwa, akibat pasar real estate yang
merosot, badai besar telah tercipta.
"Ada mitos yang punya andil
dalam masalah utang rumah tangga di Korea Selatan. Salah satunya adalah
keyakinan bahwa harga real estate akan selalu naik. Sedangkan hal yang
lainnya adalah pendidikan akan meningkatkan posisi sosial keluarga,"
katanya.
Gagasan peningkatan status sosial berbasis pendidikan
tersebut mengakar dalam kepercayaan publik setelah Perang Korea. Bangsa
tersebut hancur akibat perang dengan sedikit sumber daya alam.
Satu-satunya cara bagi para keluarga untuk mengangkat diri mereka dari
kemiskinan adalah "sumber daya manusia." Dan itu dimulai dengan
memastikan anak mereka mendapat pendidikan terbaik yang tersedia, tidak
peduli seberapa besar pengorbanan atau biaya yang akan dikeluarkan.
"Orangtua
masih ingin mendidik anak-anak mereka sehingga mereka dapat mencapai
status yang lebih baik," kata Jeong. Dan orangtua semakin bersedia
melakukan apa pun yang diperlukan agar anak-anak mereka mau bersekolah,
bahkan jika itu berarti harus kehilangan status dalam jangka pendek.
Siapa yang diuntungkan?
Meningkatkan
status sosial berhubungan erat dengan skor siswa di ujian masuk
perguruan tinggi Korea Selatan. Banyak yang menganggap, itu adalah ujian
paling penting dalam hidup mereka.
Les sepulang sekolah dan
pendidikan swasta di Korea Selatan memfokuskan pada usaha persiapan
siswa untuk lulus gemilang dalam ujian. Ini industri bernilai miliaran
dolar yang melayani mimpi para keluarga untuk menyekolahkan anak mereka
ke salah satu dari empat universitas terbaik. Pemilik bimbingan tes,
yang dikenal di Korea sebagai hagwon, mendapatkan banyak keuntungan.
"Orang-orang
ingin bisa masuk ke universitas terbaik. Mereka berpikir bahwa sekolah
yang lebih baik akan membuat Anda semakin sukses," kata Kim Dong-young,
direktur Highest Hagwon di Seoul. "Namun sistem sekolah negeri tidak
memberikan pendidikan cukup untuk mewujudkan harapan tersebut. Inilah
sebabnya mengapa para keluarga mengirim anak-anak mereka ke
sekolah-sekolah swasta.”
Kim mengatakan bahwa setiap tahun, sekolahnya mendapatkan sekitar $9 juta (setara Rp87 miliar).
Tidak ada cukup kursi di perguruan tinggi
Tapi
tidak semua mahasiswa Korea Selatan yang mendapat nilai ujian tinggi
dapat menggapai sukses. Jumlah kursi yang tersedia lebih sedikit dari
jumlah siswa yang mendaftar, dan beberapa pengamat mengatakan bahwa
budaya pendidikan Korea yang berbasis peningkatan status tersebut telah
menciptakan reaksi ekonomi.
"Masalahnya adalah kita memiliki
kelas pekerja yang terlalu berpendidikan," kata Jasper Kim, yang
memimpin Asia Pacific Global Research Group. "Ada orang-orang yang
berkualitas tinggi yang bersedia bekerja di beberapa perusahaan dengan
posisi rendah, seperti LG dan Samsung."
Kim menunjukkan, tingkat
pengangguran pemuda di Korea Selatan, yang berada di sekitar angka 7
persen, adalah lebih dari dua kali rata-rata nasional. Perusahaan terus
meningkatkan syarat untuk mempekerjakan lulusan yang terbaik. Dan rasa
“ingin terlihat sama dengan orang yang sukses” di Korea merupakan
penyebab dari rasa malu bagi banyak pemuda Korea Selatan.
"Apa yang terjadi dengan mereka yang tidak terpilih? Bagi mereka, itu adalah tantangan dan kesulitan yang nyata," kata Kim.
Ingin bunuh diri
Beberapa
ahli kesehatan mental mengatakan bahwa tekanan untuk memenuhi harapan
keluarga telah membuat beberapa pemuda Korea menjadi sangat tertekan.
"Jika
mereka sedang di bawah tekanan, merasa cemas tentang nilai ujian dan
tidak memiliki sistem pendukung yang memadai, maka hal tersebut bisa
membuat mereka berpikir bunuh diri," kata Kim Hyun-chung, seorang
psikiater di National Medical Center di Seoul. "Bunuh diri adalah
penyebab utama kematian para pemuda."
Pemerintah Korea Selatan
sedang mencoba untuk mengurangi beban emosional dan ekonomi terhadap
keluarga yang merupakan hasil dari persaingan tersebut. Baru-baru ini,
Presiden Lee Myung-bak mendorong para lulusan SMA agar tidak kuliah dan
langsung bekerja.
Tahun lalu, pemerintah membuka 21 sekolah
perdagangan khusus sebagai alternatif untuk pendidikan universitas.
Pemerintah juga memprakarsai keringanan pajak bagi perusahaan yang
mempekerjakan orang berijazah SMA. Langkah tersebut juga ditujukan untuk
menurunkan jumlah pengangguran kaum muda yang tinggi di Korea.
Namun
insentif pemerintah tidak bisa menyelesaikan semua masalah Korea, kata
Kim Hyun-chung. Psikiater mengatakan bahwa akan ada pergeseran generasi
dalam cara orang menganggap pendidikan dan lapangan kerja untuk membuat
perbedaan yang nyata. Tapi untuk saat ini, Korea perlu untuk
memperlambatnya, ujarnya.
"Setiap orang menjadi sangat tertekan,"
katanya. "Kita perlu lebih bercermin pada diri sendiri dan mengambil
langkah mundur. Semua orang bergegas untuk mencoba menyesuaikan diri."
Kim
menambahkan bahwa para ibu di Korea dapat memulainya dengan mengurangi
tekanan pada anak-anak mereka agar lulus ujian masuk universitas.
Cheon,
wanita yang mengambil pinjaman besar dengan suaminya untuk memberikan
peluang yang lebih baik kepada putrinya, mengatakan bahwa langkah
keluarganya dan semua uang yang dihabiskan untuk pendidikan merupakan
hal yang layak. Putrinya memiliki waktu satu tahun lagi untuk belajar
sebelum ia mengikuti tes, dan banyak waktu untuk les privat yang
menantinya.
"Kami memberikan kesempatan yang lebih banyak
kepadanya," kata Cheon. "Untuk para ibu di Korea, hal tersebut merupakan
sesuatu yang paling penting yang dapat kita lakukan untuk anak-anak
kita."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar